Koreksi atas Peredaran Usaha sebesar Rp5.706.499.274,00 kepada PT SAI menjadi pengingat krusial bagi Wajib Pajak bahwa konsistensi antara pembukuan, laporan keuangan audit (PSAK), dan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan adalah fondasi pertahanan yang tak bisa digoyahkan. Sengketa ini tidak hanya fokus pada koreksi penjualan, tetapi juga pada HPP dan koreksi fiskal positif atas biaya natura dan kenikmatan yang mencapai lebih dari Rp6 miliar. Pertanyaan utamanya sederhana: sejauh mana perbedaan perlakuan akuntansi (PSAK) dan pembuktian biaya operasional dapat memengaruhi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Badan?
PT SAI menangkis tuduhan tersebut dengan pembuktian berbasis rekonsiliasi dan kepatuhan PSAK. Otoritas Pajak menyerang melalui Uji Arus Piutang untuk pengujian Peredaran Usaha dan Ekualisasi untuk pengujian Peredaran Usaha serta Pembelian (HPP). PT SAI berhasil membuktikan bahwa total penjualan yang tercatat dalam General Ledger telah dilaporkan secara penuh dalam SPT Tahunan PPh Badan. PT SAI menjelaskan bahwa selisih yang ditemukan DJP dalam Uji Arus Piutang murni disebabkan oleh audit adjustment, yaitu Net-Off antara akun Piutang Dagang dan Pendapatan Diterima Dimuka untuk entitas yang sama sesuai dengan PSAK 50. PT SAI juga berhasil membuktikan terkait HPP dengan metode yang serupa, yaitu bahwa seluruh biaya yang membentuk HPP telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan. Pembuktian yang meyakinkan ini secara otomatis membatalkan koreksi Peredaran Usaha dan HPP.
DJP juga mempermasalahkan pembebanan biaya dalam bentuk natura/kenikmatan, termasuk pemberian beras kepada karyawan sebesar Rp4.008.375.363,00, dengan menilainya sebagai biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non-deductible expense). Namun PT SAI berhasil membuktikan bahwa biaya natura berupa beras yang diberikan kepada karyawan telah diperlakukan sebagai penghasilan bagi karyawan dan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. Demikian pula dengan koreksi atas natura/kenikmatan lainnya sebesar Rp1.112.120.301,00 dan Rp890.915.376,00, Majelis berpendapat biaya tersebut dikeluarkan dan berkaitan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding (industri kelapa sawit), sehingga sah untuk dibebankan sebagai biaya 3M (Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara Penghasilan).
Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa pembuktian yang diajukan oleh PT SAI, baik dari aspek rekonsiliasi peredaran usaha dan HPP, maupun keabsahan biaya natura sebagai beban 3M, memenuhi syarat formil dan materil sebagai dasar penghitungan pajak. Dengan adanya justifikasi yang kuat berdasarkan ketentuan PSAK, bukti rekonsiliasi General Ledger dengan SPT, serta bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas natura, Majelis mengabulkan seluruh permohonan banding PT SAI serta membatalkan seluruh koreksi fiskal yang dikenakan DJP.
Putusan ini menjadi pelajaran penting bagi Wajib Pajak bahwa kepatuhan akuntansi (PSAK) dapat menjadi pembelaan yang kuat dalam sengketa pajak, asalkan didukung oleh rekonsiliasi yang memadai dan audit trail yang jelas. Khususnya, terkait Uji Arus Piutang, Wajib Pajak harus siap menjelaskan setiap perbedaan saldo piutang dengan detail audit adjustment yang bersifat teknis. Sementara itu, untuk koreksi biaya natura, kemenangan PT SAI menegaskan bahwa biaya natura/kenikmatan dapat diakui secara fiskal jika Wajib Pajak dapat membuktikan bahwa imbalan tersebut merupakan objek PPh Pasal 21 bagi penerima, atau jika biaya tersebut merupakan pengeluaran yang secara langsung mendukung kegiatan 3M perusahaan.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini